Jumat, 16 Juli 2010

Pendidikan dan Permasalahannya

Ajaran Behaviorisme yang selalu mengedepankan ontologi keilmuan menyeret manusia ke dalam dimensi yang benar-benar nyata. Dimensi kecerdasan yang hakiki. Dimensi penggunaan serta pengerahan total akal dan pikiran. Kecerdasan dalam pandangan ini adalah minimal mampu menempatkan segala permasalahan sesuai dengan tempat dan porsinya masing-masing. Saat manusia dihadapkan oleh berbagai masalah terkadang mereka tak mampu memformulasi solusi yang ampuh sekaligus mampu membuat mereka tenang tanpa ada kegelisahan akan kembalinya permasalahan itu ke tengah-tengah mereka. Maka dari itu dengan pandangan ini manusia diharuskan menemukan kemanusiaannya dengan menuntut ilmu.

Belajar sebagai proses penambahan ilmu, perluasan pengetahuan dan pendewasaan sikap memerlukan kesabaran, keuletan dan waktu yang tidak sebentar. Pihak-pihak yang menjadi ujung tombak pendidikan mendapat “PR” yang sulit. Merubah paradigma pemikiran yang banyak berbeda dengan sebelumnya. Peserta didik digiring ke arah yang terkadang kontradiktif dengan kenyataan di masyarakat. Tapi, sekali lagi hal ini merupakan proses yang harus dilewati dengan penuh arif dan bijaksana.

Perkembangan sosial budaya masyarakat saat ini lebih condong ke arah yang negatif dengan berjuta contoh kelakuan hidup manusia yang “bejat” telah menjadi sarapan pagi melalui media informasi baik cetak maupun elektronik. Mulai dari praktek korupsi, kolusi, nepotisme, krimiinal, hingga contoh prilaku seks bebas. Celakanya peserta didik yang diharapkan menjadi punggawa negara di masa depan melalui survey yang dilakukan baru-baru ini divonis menjadi pihak yang paling banyak mengkonsumsi prilaku itu.

Permasalahan pelik lainnya yang klasik di negeri ini adalah kemiskinan ditambah dengan biaya pendidikan yang selangit. Rabu, 14 Juli 2010 seorang anak berusia 11 tahun nekat menghabisi nyawanya sendiri karena merasa malu diejek teman-temannya lantaran orang tuanya tak mampu menyekolahkannya. Sebuah gambaran yang seharusnya tidak terjadi di negeri yang kaya ini. Tetapi harapan Cuma harapan. Slogan pendidikan gratis yang digembor-gemborkan pemerintah ternyata belum menyentuh urat syaraf masyarakat miskin yang notabene perlu pendidikan juga.

UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan merupakan hal yang mutlak didapatkan oleh setiap warga negara. Tetapi, mengapa kejadian-kejadian seperti yang disebutkan di atas terulang dan terulang lagi. Siapa yang harus disalahkan, pelaku bunuh diri, orang tuanya, masyakarat, atau pemerintah sebagai penyelenggara negara? Memang, mencari siapa yang bertanggung jawab bukan merupakan solusi yang jitu seperti yang di sebutkan di atas. Tetapi dengan adanya tanggung jawab yang melekat pada pihak-pihak tertentu paling tidak dapat mengurangi angka kejadian.

Guru yang bertindak sebagai pendidik dan pengajar dengan segala kekurangan mulai dari sisi intelektualitas hingga himpitan ekonomi kembali dipertaruhkan. Seluruh elemen bangsa mulai dari rakyat jelata hingga penguasa menyandarkan diri pada kemampuan guru dalam menatap masa depan bangsa. Tugas yang amat mulia kendati harus berpeluh tiap saat. Sebuah tantangan yang dasyat yang harus dijawab dengan semangat kebangsaan serta nasionalisme total. Mampukah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar