Rabu, 28 Juli 2010

NEGERI KURA KURA DAN NEGERI PURA PURA

“Sebentar lagi Walikota akan datang ke sini, kita harus siap-siap. Berarti, semua ruangan mulai dari kantor, laboratorium, hingga toilet harus terlihat bersih dan rapi. Awas, jika Walikota datang keadaan masih seperti ini, matilah kita”. Itulah beberapa kalimat yang terlontar seorang atasan kepada bawahannya di sebuah instansi pemerintah saat mendengar seorang pejabat pemerintah akan datang ke tempat kerjanya. Mulai hari itu, semua penghuni instansi berbenah, merapikan sana sini, memeras keringat untuk menyambut layaknya seorang raja besar yang kharismatik yang berhasil membuat rakyat sejahtera.

Dengan maksud meresmikan sebuah tempat cuci tangan yang biaya pembuatannya didanai pihak asing dan tidak seberapa, pejabat ini disambut dengan suka cita. Bahkan siswa-siswa yang ada di lokasi peresmian sebagian besar diistirahatkan di rumah masing-masing. Sebagian yang lain dikerahkan untuk meneriakkan yel-yel dan menyanyikan beberapa lagu untuk menyambut pejabat itu. Tempat cuci tangan yang diresmikan pejabat itu membuat mereka libur dan memaksa mereka untuk tidak mengkonsumsi pengetahuan di ruang belajar hari itu. Padahal belum lama orang nomor satu negeri ini mengatakan bahwa kemajuan suatu negara tergantung pada konsistensi para para pejabat untuk menjalankan kebijakan pendidikan secara total. Bahkan ia menambahkan bahwa pendidikan harus berada di atas segalanya. Lagi-lagi prilaku masyarakat dan pejabat yang tidak sejalan dengan semangat pendidikan yang kerap digembor-gemborkan baik di surat kabar maupun media televisi kembali dipertontonkan.

Inilah sebuah gambaran negeri malas yang selalu ingin tampil “wah” di depan para pejabat. Ironis menyaksikan pertunjukan seperti itu, tetapi apa hendak dikata hal ini sudah terjadi turun temurun dan masih tumbuh kembang hingga sekarang. Ingat, ini baru seorang walikota yang datang, bagaimana jika yang datang seorang gubernur, menteri atau bahkan presiden? Bisa jadi pegawai-pegawai itu dipaksa lembur tujuh hari tujuh malam hanya untuk menyiapkan segala sesuatunya agar tampak rapi, bagus dan baik-baik saja. Tidak hanya itu, tentunya dana yang dipersiapkan untuk menyambut kedatangannya pasti lebih besar. Slogan yang pernah popular di tengah-tengah masyarakat “Asal Bapak Senang” kembali menyeruak kepermukaan menyaksikan perhelatan berpura-pura.

Berbeda dengan cerita Negeri Kura-kura yang pernah kita dengar saat duduk di bangku sekolah dasar. Sebuah negeri yang dihuni ribuan kura-kura yang rajin, cerdas dan tampil apa adanya. Tanpa ada persiapan apapun mereka pasti siap, karena lingkungan, rumah bahkan kantor-kantor pemegang kendali birokrasi bekerja jujur. Tanpa ada informasi bahwa sang raja atau tamu kehormatan akan berkunjung hal itu tidak membuat mereka kalang kabut, kebakaran jenggot dan takut jabatannya terancam. Sebuah negeri dengan mental penduduk, pegawai dan penguasanya yang sangat profesional.

Sang penguasa pun tak segan-segan datang berkunjung tanpa ada acara ceremonial yang banyak menghabiskan dana. Bahkan bersedia datang tanpa baju kebesaran, pengawal, embel-embel dan basa-basi gombal lainnya. Mental merakyat sudah menjadi trade mark bagi penguasa negeri itu. Sederhana, bersahaja, dan tidak mentang-mentang.

Negeri Kura-kura merupakan gambaran negeri ideal. Sebuah negeri yang kebaikannya dapat dilihat dari semua sudut pandang. Tidak ada determinasi penguasa terhadap rakyat yang dipimpinnya, apalagi penindasan terhadap pendidikan yang dikemas manis dalam acara-acara peresmian. Intelektualitas, profesionalitas serta religiusitas berkolaborasi menjadi satu, menampilkan sebuah drama cantik dan menarik yang berhasil meninggalkan kesan manis bagi para penikmatnya.

Belajar dan mencontoh prilaku masyarakat negeri kura-kura adalah sebuah keniscayaan apabila kita ingin maju. Membongkar semua kebusukan yang ditutup-tutupi, mengorbankan hal penting hanya untuk melakukan hal-hal yang tidak penting, harus segera disudahi. Masalahnya sekarang adalah sudikah pejabat-pejabat itu melepaskan jubah hitamnya?

Jumat, 23 Juli 2010

Jalan Pintas: Surat Edaran Menpan Nomor 5 Tahun 2010

Jalan Pintas: Surat Edaran Menpan Nomor 5 Tahun 2010

Surat Edaran Menpan Nomor 5 Tahun 2010

Surat Edaran Menpan No. 5 tahun 2010

MENTERI NEGARA

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

DAN REFORMASI BIROKRASI

REPUBLIK INDONESIA

Kepada Yth.

1. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat
2. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah

di

Tempat

SURAT EDARAN

NOMOR 05 TAHUN 2010

TENTANG

PENDATAAN TENAGA HONORER

YANG BEKERJA DI LINGKUNGAN INSTANSI PEMERINTAH

1. Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, Pemerintah telah melakukan pemrosesan tenaga honorer sejumlah 920.702. Menurut laporan dari berbagai daerah dan pengaduan tenaga honorer yang disampaikan kepada Badan Kepegawaian Negara dan Kementerian PAN & RB serta kepada Anggota DPR-RI khususnya Komisi II, Komisi VIII dan Komisi X, masih terdapat tenaga honorer yang memenuhi syarat Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 jo Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007.

2. Adapun tenaga honorer dimaksud terdiri dari :

1. Kategori I

Tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dengan kriteria :

1. Diangkat oleh pejabat yang berwenang;
2. Bekerja di instansi pemerintah;
3. Masa kerja minimal 1 (satu) tahun pada 31 Desember 2005 dan sampai saat ini masih bekerja secara terus menerus;
4. Berusia sekurang-kurangnya 19 tahun dan tidak boleh lebih dari 46 tahun per 1 Januari 2006

2. Kategori II

Tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai bukan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau bukan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dengan kriteria :

1. Diangkat oleh pejabat yang berwenang;
2. Bekerja di instansi pemerintah;
3. Masa kerja minimal 1 (satu) tahun pada 31 Desember 2005 dan sampai saat ini masih bekerja secara terus menerus;
4. Berusia sekurang-kurangnya 19 tahun dan tidak boleh lebih dari 46 tahun per 1 Januari 2006

3. Untuk menyelesaikan tenaga honorer tersebut di atas dan sambil menunggu Peraturan Pemerintah Tentang Persyaratan dan Tata Cara Penyelesaian Tenaga Honorer;

* Tenaga honorer kategori I diminta kepada Pejabat Pembina Kepegawaian agar:

1. Melakukan pendataan tenaga honorer sebagaimana kriteria di atas berdasarkan formulir yang telah diisi oleh tenaga honorer dan disahkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain yang ditunjuk dan pejabat yang bertanggung jawab di bidang pengawasan sebagaiman tersebut dalam lampiran
2. Perekaman data tenaga honorer harus menggunakan aplikasi yang telah disiapkan oleh BKN. Aplikasi dan formulir pendataan dapat diunduh di www.bkn.go.id atau menghubungi BKN / Kantor Regional BKN di wilayah kerjanya.
3. Menyampaikan formulir pendataan tenaga honorer yang telah ditandatangani oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain yang ditunjuk dan pejabat yang bertanggungjawab di bidang pengawasan, daftar nominatif beserta softcopy (compact disk) data tenaga honorer hasil inventarisasi tersebut telah diterima di Badan Kepegawaian Negara paling lambat tanggal 31 Agustus 2010 sebagai bahan persiapan untuk melakukan verifikasi dan validasi data tenaga honorer oleh tim verifikasi dan validasi nasional yang jadwal pelaksanaan akan disampaikan kemudian oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.
4. Pejabat Pembina Kepegawaian Kabupaten/Kota agar menyampaikan tembusan sebagaimana tersebut pada angka 3 di atas kepada Gubernur

* Tenaga honorer kategori II diminta kepada Pejabat Pembina kepegawaian agar:

1. Melakukan inventarisasi data tenaga honorer sebagaimana kriteria di atas berdasarkan formulir sebagaimana tersebut dalam lampiran II.a dan II.b.
2. Menyampaikan hasil inventarisasi tersebut kepada Kementerian PAN & RB tembusan BKN paling lambat 31 Desember 2010

4. Selain hal tersebut di atas Pejabat Pembina Kepegawaian perlu melakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Data Tenaga Honorer yang memenuhi persyaratan sebagaimana kategori I yang disampaikan kepada Kepala BKN setelah tanggal 30 Juni 2006 sampai dengan tanggal dikeluarkan Surat Edaran ini dinyatakan tidak berlaku dan agar diusulkan kembali dengan formulir sebagaimana dimaksud pada lampiran I.
2. Pelaksanaan pendataan (proses dan hasil) harus dilakukan secara transparan, tidak dipungut biaya, cermat, akurat, tepat dan diumumkan melalui media selama 14 (empat belas hari) kepada publik sehingga tidak menimbulkan permasalahan data tenaga honorer dikemudian hari.
3. Pejabat yang menandatangani formulir akan dikenai sanksi administrasi maupun pidana, apabila dikemudian hari ternyata data tenaga honorer yang disampaikan tersebut tidak benar dan tidak sah.
4. Biaya pelaksanaan pendataan tenaga honorer dibebankan pada APBN/APBD di masing-masing instansi pemerintah yang bersangkutan
5. Apabila sampai tanggal 31 Agustus 2010 formulir pendataan tenaga honorer, daftar nomonatif beserta softcopy (compact disk) dan formulir data belum diterima oleh BKN, maka instansi tersebut dinyatakan tidak memiliki tenaga honorer dan tidak dapat mengusulkan tenaga honorer kembali.

5. Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 28 Juni 2010

Menteri Negara

Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi,

E. E. Mangindaan

Tembusan :

* Presiden Republik Indonesia
* Wakil Presiden Republik Indonesia

Jumat, 16 Juli 2010

Pendidikan dan Permasalahannya

Ajaran Behaviorisme yang selalu mengedepankan ontologi keilmuan menyeret manusia ke dalam dimensi yang benar-benar nyata. Dimensi kecerdasan yang hakiki. Dimensi penggunaan serta pengerahan total akal dan pikiran. Kecerdasan dalam pandangan ini adalah minimal mampu menempatkan segala permasalahan sesuai dengan tempat dan porsinya masing-masing. Saat manusia dihadapkan oleh berbagai masalah terkadang mereka tak mampu memformulasi solusi yang ampuh sekaligus mampu membuat mereka tenang tanpa ada kegelisahan akan kembalinya permasalahan itu ke tengah-tengah mereka. Maka dari itu dengan pandangan ini manusia diharuskan menemukan kemanusiaannya dengan menuntut ilmu.

Belajar sebagai proses penambahan ilmu, perluasan pengetahuan dan pendewasaan sikap memerlukan kesabaran, keuletan dan waktu yang tidak sebentar. Pihak-pihak yang menjadi ujung tombak pendidikan mendapat “PR” yang sulit. Merubah paradigma pemikiran yang banyak berbeda dengan sebelumnya. Peserta didik digiring ke arah yang terkadang kontradiktif dengan kenyataan di masyarakat. Tapi, sekali lagi hal ini merupakan proses yang harus dilewati dengan penuh arif dan bijaksana.

Perkembangan sosial budaya masyarakat saat ini lebih condong ke arah yang negatif dengan berjuta contoh kelakuan hidup manusia yang “bejat” telah menjadi sarapan pagi melalui media informasi baik cetak maupun elektronik. Mulai dari praktek korupsi, kolusi, nepotisme, krimiinal, hingga contoh prilaku seks bebas. Celakanya peserta didik yang diharapkan menjadi punggawa negara di masa depan melalui survey yang dilakukan baru-baru ini divonis menjadi pihak yang paling banyak mengkonsumsi prilaku itu.

Permasalahan pelik lainnya yang klasik di negeri ini adalah kemiskinan ditambah dengan biaya pendidikan yang selangit. Rabu, 14 Juli 2010 seorang anak berusia 11 tahun nekat menghabisi nyawanya sendiri karena merasa malu diejek teman-temannya lantaran orang tuanya tak mampu menyekolahkannya. Sebuah gambaran yang seharusnya tidak terjadi di negeri yang kaya ini. Tetapi harapan Cuma harapan. Slogan pendidikan gratis yang digembor-gemborkan pemerintah ternyata belum menyentuh urat syaraf masyarakat miskin yang notabene perlu pendidikan juga.

UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan merupakan hal yang mutlak didapatkan oleh setiap warga negara. Tetapi, mengapa kejadian-kejadian seperti yang disebutkan di atas terulang dan terulang lagi. Siapa yang harus disalahkan, pelaku bunuh diri, orang tuanya, masyakarat, atau pemerintah sebagai penyelenggara negara? Memang, mencari siapa yang bertanggung jawab bukan merupakan solusi yang jitu seperti yang di sebutkan di atas. Tetapi dengan adanya tanggung jawab yang melekat pada pihak-pihak tertentu paling tidak dapat mengurangi angka kejadian.

Guru yang bertindak sebagai pendidik dan pengajar dengan segala kekurangan mulai dari sisi intelektualitas hingga himpitan ekonomi kembali dipertaruhkan. Seluruh elemen bangsa mulai dari rakyat jelata hingga penguasa menyandarkan diri pada kemampuan guru dalam menatap masa depan bangsa. Tugas yang amat mulia kendati harus berpeluh tiap saat. Sebuah tantangan yang dasyat yang harus dijawab dengan semangat kebangsaan serta nasionalisme total. Mampukah?

Minggu, 04 Juli 2010

Kepada Kabut

Hei kabut,
Mengapa paksakan hadir padahal semua orang enggan menatap
Putih tak cerminkan kelakuanmu
Hanya manusia di kejauhan yang terpana pada jubah bersih
Mereka tak tahu apa-apa
Tatapan meraka semu

Hai Kabut,
Untuk apa bertahan di hadapan
Semakin lama semakin tak dimengerti keberadaannya di sini
Hanya memenjara pandangan
Mengekang penglihatan atas ciptaan-Nya.

Hai kabut,
Kapan berhenti memaksa menghentikan jejak langkah
pedulimu hampa, tak berisi
Menipu dengan keangkuhan selimut senja
Menghapus jejak kaki cakrawala

Hai kabut,
Haruskah kuhampiri, kulewati
sambil meninju pongah yang tak berkesudahan
menghabisi sombong dengan kepal tangan malam
Merampas nyawa
dan menggantungkankan jasad di celah-celah tebing

Hei kabut,
pergilah kau
sebelum emosiku benar-benar memuncak.


Garut, 2010

Selasa, 12 Januari 2010

Tahun Baru, Mobil Baru dan Langit Baru

Tahun baru merupakan momentum yang sering dilewati dengan pesta yang meriah. Banyak orang yang tidak mau melewati momentum itu. Mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga kakek-kakek dan nenek-nenek sekalipun. Tidak sedikit orang yang bersedia merogoh kantongnya dalam-dalam untuk melawati malam tahun baru. Sepertinya tahun baru adalah saat yang harus dilewati dengan penuh suka cita. Entah apa dalilnya, tahun baru selalu saja begitu, dari tahun ke tahun.

Merayakan tahun baru memang bukanlah kesalahan. Sah-sah saja apabila orang melawati malam tahun baru dengan pesta meriah. Boleh-boleh saja orang merayakan tahun baru dengan berkumpul-kumpul bersama teman di sebuah tempat wisata mahal. Tapi, sepertinya istilah azas manfaat yang selalu digembor-gemborkan guru di depan kelas, sudah tidak popular lagi di kalangan kita. Kata “hemat” sudah tidak bersahabat dengan masyarakat Indonesia dan hanya menjadi lips service saja di kalangan pejabat. “Di tengah keterpurukan ekonomi dewasa ini kita harus berhemat, Karena banyak rakyat kita yang kesulitan,” pesan pembesar negeri ini pada saat berada di atas podium.

Tetapi apa yang terjadi kemudian? Sebagai bentuk peghargaan yang mendalam dan untuk meningkatkan kinerja, setiap anggota kabinet baru disediakan mobil dinas baru yang harganya 1,3 miliar rupiah. Sebuah harga yang “pas” di tengah kemelaratan masyarakat kita. Nilai 1,3 miliar menurut analisa editorial Media Indonesia (Sabtu, 2 Januari 2010) sepadan dengan dana yang diperlukan untuk untuk menggratiskan 2300 siswa SMP yang putus sekolah karena tidak mampu membayar. Jadi, hemat macam apa maksudnya?

Kembang api dan petasan menjadi simbol tahun baru di seluruh dunia. Bayangkan dalam satu malam langit Indonesia dan langit-langit negeri lain di seluruh dunia disulap menjadi langit yang terang di tengah malam. Pesta kembang api mewarnai langit. Asap berkepul di mana-mana. Tak terkecuali di sekitar rumah. Teringat ucapan Pak Ngatmin seorang guru SD di bilangan Jelambar, Jakarta. Beliau pernah mengatakan pada murid-muridnya bahwa asap hasil pembakaran tidak akan pernah lenyap. Tak terlihat oleh mata mungkin ya, tetapi sejatinya asap-asap itu berkumpul menjadi satu kemudian berperang melawan lapisan ozon.

Berarti orang-orang yang merayakan tahun baru dengan membakar petasan secara langsung ikut memperlebar bocornya lapisan ozon langit kita. Berarti orang yang bersuka cita di malam tahun baru dengan membakar kembang api secara tidak langsung telah menginvestasikan dananya untuk menambah dampak global warming. Nah pertanyaannya adalah apakah kita termasuk orang-orang itu? Atau kita termasuk orang yang pandai memaknai tahun baru dengan cerdas?

Pelangi di Kamarku

Ruang kamarku diterangi tujuh warna pelangi. Bermain, menari, menyanyi riang sesekali melantunkn puisi-puisi Rendra. Bercanda, bercengkerama dengan sahabat-sahabtku. Itulah impianku sejak dulu, sejak aku kecil. “Ah, berhayal saja kau!” komentar kawan-kawanku saat kuceritakan impianku itu. “Berpikirlah realistis, kawan.” Tambah mereka seakan mencibir. Kata-kata yang bengis, yang tak kusuka sejak dulu, sejak aku mendambakan hal itu terjadi. Mereka tak pernah mengerti aku, tak pernah memahamiku. Sedikitpun.

Udara masih saja basah menerpa wajahku membawa sejuk ke dalam ruang kamarku. Hujan deras meninggalkan titik-titik air di daun-daun Angsana. Sepi, dunia seakan tak bernyawa, diam tak bergerak. Kejenuhan menghampiri mengajak tubuh ini mendekati pembaringanku yng sudah kurapikan sebelumnya. Kurebahkan tubuh perlhan. Menatap langit-langit kamar yang bisu, yang tak pernah beranjak dari tempatnya sejak dulu, sejak aku kecil, sejak rumah sederhana ini dibangun ayah untuk keluarga kami.

Kututupi tubuh ini dengan selimut tebal. Wangi udara bersih mengantarkan tidurku sore ini. Kuterlelap di dinginnya dunia tanpa ada usikan dari siapapun. Aku tertidur hingga terjaga saat kusadar kamarku terang benderang. Kereta kencana emas dengan empat kuda putih melaju menuju langit. Senyum bidadari menjauh dari kamarku. Wanginya tertinggal. Kuterperangah hampir pingsan.
Mengapa aku harus terlelap sore ini!