Selasa, 12 Januari 2010

Pelangi di Kamarku

Ruang kamarku diterangi tujuh warna pelangi. Bermain, menari, menyanyi riang sesekali melantunkn puisi-puisi Rendra. Bercanda, bercengkerama dengan sahabat-sahabtku. Itulah impianku sejak dulu, sejak aku kecil. “Ah, berhayal saja kau!” komentar kawan-kawanku saat kuceritakan impianku itu. “Berpikirlah realistis, kawan.” Tambah mereka seakan mencibir. Kata-kata yang bengis, yang tak kusuka sejak dulu, sejak aku mendambakan hal itu terjadi. Mereka tak pernah mengerti aku, tak pernah memahamiku. Sedikitpun.

Udara masih saja basah menerpa wajahku membawa sejuk ke dalam ruang kamarku. Hujan deras meninggalkan titik-titik air di daun-daun Angsana. Sepi, dunia seakan tak bernyawa, diam tak bergerak. Kejenuhan menghampiri mengajak tubuh ini mendekati pembaringanku yng sudah kurapikan sebelumnya. Kurebahkan tubuh perlhan. Menatap langit-langit kamar yang bisu, yang tak pernah beranjak dari tempatnya sejak dulu, sejak aku kecil, sejak rumah sederhana ini dibangun ayah untuk keluarga kami.

Kututupi tubuh ini dengan selimut tebal. Wangi udara bersih mengantarkan tidurku sore ini. Kuterlelap di dinginnya dunia tanpa ada usikan dari siapapun. Aku tertidur hingga terjaga saat kusadar kamarku terang benderang. Kereta kencana emas dengan empat kuda putih melaju menuju langit. Senyum bidadari menjauh dari kamarku. Wanginya tertinggal. Kuterperangah hampir pingsan.
Mengapa aku harus terlelap sore ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar